Tim Warta Alumni berkesempatan menemui Dr. Muhammad Najib Azca, dosen senior di Departemen Sosiologi. Meskipun usianya sudah menginjak kepala lima, dosen asal Pekalongan, Jawa Tengah ini masih sering dipanggil dengan sebutan ‘Mas’. Bukan tanpa alasan, panggilan Mas ini sesuai dengan karakter Najib yang selalu tampak muda.
Selain dari penampilannya, jiwa muda Najib juga terbentuk dari ketertarikannya dengan isu-isu kepemudaan. Hal ini diperkuat dengan jabatannya sebagai Director di Youth Studies Center Fisipol UGM (YOUSURE). Lingkup kajian inilah yang juga membuat Najib ikut terbawa dengan gaya hidup anak muda.
Salah satunya adalah budaya digital yang sering dikaitkan dengan “dunianya anak muda”. Bagi Najib, generasi muda memang sudah tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan teknologi. “Generasi muda lebih friendly, lebih akrab dengan teknologi maupun gadget sejak awal” ungkapnya. Dalam persoalan ini, menurutnya, ada generation gap antara generasi muda dengan generasi tua. Namun hal tersebut tidak membuat Najib menutup diri dengan perkembangan teknologi. Baginya, keadaan ini justru merupakan arena belajar agar tetap bisa menyesuaikan zaman, terutama dengan genarasi muda sekarang.
Bertempat di ruang kerjanya, Gedung BA 314 Fisipol UGM, Najib bernostalgia bagaimana awal mula ia bersentuhan dengan teknologi yang paling sederhana sampai menjadi canggih seperti sekarang ini. “Saya mulai bersentuhan dengan teknologi itu saat saya di Sintesa, itu komputer pemberian Pak Amal, itu komputer Apple yang besar dan itu pun dalam kondisi hidup dan mati,” paparnya. Najib juga menceritakan bentuk alat komunikasi awal yang ia miliki. “Dulu awal banget masih berbentuk pager, itu saya miliki saat masih jadi wartawan tahun 1992. Saat jadi wartawan inilah yang membawa saya sering bersentuhan dengan teknologi,” ungkap dosen lulusan Australian National University (ANU).
Pengalamannya ini memang memudahkan Najib dalam mengikuti perkembangan teknologi sampai sekarang ini. Namun, Najib juga mengakui bahwa perkembangan teknologi sekarang bersifat sangat cepat. Sehingga perlu adanya strategi khusus agar tetap bisa mengikuti dan menyesuaikan zaman. Najib mengungkapkan bahwa sering bergaul dengan generasi muda adalah salah satu strateginya agar tetap update dengan perkembangan teknologi. “Saya sering memanfaatkan pertemanan saya dengan anak-anak muda yang memang sangat konsen dengan perkembangan teknologi. Saya sering tapping knowledge dan resource dari mereka,” ungkapnya.
Menurut Najib, generasi muda memang lebih terampil, lebih gesit, dan lebih cepat dalam persoalan teknologi. Sehingga Najib merasa beruntung bisa mencuri ilmu dari generasi di bawahnya. Hal inilah yang juga membuat Najib tidak merasa sungkan untuk bergaul lebih dekat dengan anak-anak muda.
Di akhir wawancara, Najib berpesan kepada generasi muda bahwa kita juga harus jeli dalam menggunakan teknologi. Menurutnya, satu sisi teknologi memang memudahkan kita dalam banyak hal. Namun, sisi lain teknologi membuat kita kehilangan “sense of deep” terhadap sesuatu. Tentunya, dampak ini akan menciptakan generasi yang pragmatis dan budaya instan. Dimana, Najib mengakui bahwa keadaan inilah yang juga mulai menyerang dirinya. “Dalam hal ini memang saya belum mampu menarik jarak terhadap arus negatif teknologi, harusnya memang perlu untuk bisa mengendalikan diri terhadap cengkraman negarif dari teknologi ini,” pungkasnya. (ran)